Rotasi, Buah Simalakama Bagi Jaya
“Bukannya saya tidak percaya kepada mereka, tetapi keputusan untuk mengubah total formasi pemain dengan memasukkan pemain lapis kedua terlalu riskan. Tidak ada jaminan kerja sama, kolektivitas, dan sentuhan antarpemain akan langsung solid. Lalu kalau nanti hasilnya tidak memuaskan, yang akan dipojokkan tetap pelatih.” Inilah kalimat yang terlontar dari seorang Jaya Hartono mengenai rotasi di kubu Maung Bandung.
Rotasi memang menjadi semacam buah simalakama bagi Jaya Hartono. Sebuah pilihan yang sulit dalam keadaan yang sulit pula.
Di satu sisi, jadwal Liga Super Indonesia (LSI) merupakan jadwal yang gila. Sebagai penyelenggara, PT Liga Indonesia tidak menyadari bahwa negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat besar. Akibat pelatnas Pra Piala Asia, jadwal dipadatkan sepadat-padatnya, dan akhirnya berimbas pada stamina dan penampilan pemain di lapangan.
Maka rotasi adalah salah satu alternative untuk mempertahankan penampilan sebuah klub. Sebagai pelatih, Jaya tentu ingin melakukan hal ini. Rotasi, supaya para pemain andalan tetap bugar, dan pemain lain bertambah jam terbangnya.
Di sisi lain, sebagian bobotoh Persib masih punya keyakinan bahwa Persib adalah yang terhebat, terbaik, sebuah tim yang tidak layak menerima kekalahan. Bagi mereka, satu kekalahan apapun alasannya, tidak bisa diterima. Bobotoh ini memang fanatik tapi buta dan irasional.
Pada keadaan ini, kekalahan jadi kata yang haram, tidak bisa ditolelir oleh sebagian bobotoh tersebut. Dan akhirnya, pelatih yang menjadi korban dan dituntut untuk mengundurkan diri.
Kenyataannya, rotasi adakalanya malah bisa jadi bumerang. Absennya para pemain andalan malah menjadi titik kelemahan klub. Tak jarang, klub yang melakukan rotasi, malah tewas di tangan lawannya. Dan pilihan inilah yang paling dihindari seorang Jaya Hartono.
Hal ini bisa dilihat di beberapa laga terakhir Persib Bandung. Jaya tidak melakukan rotasi. Jaya tetap memaksakan mereka bermain untuk meraih kemenangan, meskipun akhirya pemain sekelas Eka dan Nova ditarik dari lapangan akibat lelah.
Suatu hari mungkin kita bisa melihat Jaya atau pelatih Persib lain melakukan rotasi saat Persib bermain. Saat dimana semua bobotoh kompak menerima bahwa sepakbola adalah permainan, dan kekalahan juga merupakan suatu kehormatan.
Gonzales yang diharapkan bisa mempertajam lini depan Persib pada kompetisi 2009-2010, ternyata belum bisa berbuat banyak dari sebelas pertandingan yang dimainkan Persib. Pemain berusia 34 tahun ini, baru mencetak satu gol.
Beban Gonzales yang menyandang top scorer empat kali ini, teramat berat. Apalagi, setelah gagal mencetak gol dari penalti ketika melawan Pelita Jaya, dia mulai merasakan dalam masa yang sangat sulit.
Apakah ini pertanda naluri gol Gonzales mulai hilang dimakan usia? Masa sulit yang dialami seorang striker pernah menimpa pemain top dunia. Striker asal Ukraina, Andriy "Sheva" Shevchenko sedang bersinar di Liga Italia bersama AC Milan, langsung redup saat pindah ke Chelsea. Padahal, Sheva dibayar mahal saat pindah ke Chelsea.
Begitu juga dengan striker asal Brasil di Inter Milan, Adriano. Kariernya cemerlang pada awal saja, kemudian tidak lama kemudian menjadi redup hingga sekarang seperti Sheva.
Gonzales butuh dorongan motivasi dari pelatih, pemain, maupun bobotoh, untuk memulihkan kepercayaan dirinya. Akan tetapi, secara teknis di lapangan, pelatih dan pemain di level Liga Super, sudah tahu cara untuk "mematikan" seorang Gonzales. Parahnya lagi, serangan Persib selalu monoton terfokus pada dia, sehingga Gonzales begitu kesulitan mendapatkan bola di dalam kotak penalti. Terkadang, ketika dia dalam posisi bebas di depan gawang, tidak mendapat suplai bola, karena pemain lain lebih egois untuk menendang langsung.
Situasi sekarang sangat tidak menguntungkan bagi seorang Gonzales. Hanya dia yang bisa menjawab kondisi ini. Yang jelas pemain asal Uruguay itu butuh dukungan moril dari semua pihak. Jika tidak bisa memperbaiki diri, mungkin nasib Gonzales bakal sama seperti Sheva dan Adriano.